Kamis, 09 Agustus 2012 |
0
komentar
Sepeda tua, warnanya
kusam, dan tidak ada kata modern untuk sepeda ini. Inilah sepeda Ayah Budi,
yang sudah ketinggalan zaman dan pantas untuk masuk museum.
Terlepas dari kata
kuno atau tidak, Ayah Budi sangat mencintai sepeda tuanya, kendati di rumahnya
juga ada motor. Sebagai bukti, Ayah Budi yang bekerja sebagai salah satu guru
SD selalu naik sepeda tua ini saat berangkat dan pulang mengajar.
“Sepeda ini berhasil
Ayah beli dari uang hasil keringat Ayah sendiri saat Ayah pertama kali bekerja
sebagai buruh”, kata Ayah. “Ayah masih naik sepeda ini karena sepeda ini telah
berjasa bagi Ayah”,sambungnya.
Ayah sangat
menghargai sepedanya, namun tidak dengan Budi. Ia malah malu karena ia kerap
kali menjadi bahan ejekan temannya gara-gara sepeda itu.
Berkali-kali ia minta
ayahnya agar mengganti sepedanya karena ia malu. Ayah menjawab, “Kenapa harus
malu? Kan Ayah yang memakai sepeda itu”. Kalimat itu membuat Budi tak berkutik.
Namun, Budi tetap
ingin Ayahnya mengganti sepeda itu. Ia tidak ingin ayahnya naik sepeda tuanya.
Suatu ketika di malam
hari, ban sepeda itu dibocor oleh Budi dengan paku, dan keesokan paginya sang
Ayah kaget dan heran karena sebelumnya sepedanya tidak bocor.
Saat melihat Budi,
Ayah mencekal tangannya dan berkata, “Budi, Ini pasti perbuatanmu!. Kalau benar
kau yang melakukannya namun kau tidak mengakuinya, maka uang SPPmu Ayah stop!”.
Budi tidak dapat
berkutik dengan ancaman ayahnya itu. Antara
jengkel dan takut, Ia pun mengakui perbuatannya karena ia takut tidak
dapat uang SPP yang menyebabkannya tidak dapat bersekolah.
“Budi, Kau tahu kan
kenapa Ayah mencintai sepeda ini?”, Tanya Ayah. Budi pun terbungkam.
“Ayah membeli
sepedaini dari hasil keringat Ayah sendiri, dari yang dulu hanya seorang buruh
sampai sekarang menjadi seorang guru. Sepeda ini saksi perjalanan hidup Ayah.
Lantas apakah Ayah harus mengabaikannya setelah ada yang lebih baik?. Tidak,
Budi. Sepeda ini harus tetap dihargai. Kau mengerti?”. Budi pun lalu menangguk.
Sambil tersenyum,
Ayahpun berkata, “Nak, Hargailah sesuatu, apapun itu, terutama untuk sesuatu
yang pernah berjasa bagimu, walaupun ada yang lebih baik dari sesuatu
tersebut”. “Iya, Yah. Mulai sekarang Budi berjanji akan menghargai segala
sesuatu”, kata Budi sambil tersenyum.
Label:
CERPEN
0 komentar:
Posting Komentar