KULIAH PAKAR "Meraih Partisipasi Untuk Akselerasi Gerak Pembangunan Bangsa" oleh Prof. Anies Baswedan Ph. D

Kuliah Pakar hari ini, 23 Oktober 2013 sekitar pukul 11.00 WIB di Aula FISIP UNS dengan pembicara Bapak Anies Baswedan. Beliau rektor Universitas Paramadina, sekaligus pelopor gerakan Indonesia mengajar.

Dalam kuliah tersebut, beliau menerangkan mengenai pendidikan. Pendidikan memang belum dianggap sebagai hal pokok di Indonesia, meskipun program wajib belajar sudah digalakkan. Inilah yang menyebabkan Indonesia tidak kunjung maju. Kita lihat saja Jepang, dengan Sumber Daya Alam yang tidak sekaya Indonesia, tetapi Jepang dapat mempunyai tingkat kemakmuran yang tinggi.Bayangkan dengan Indonesia, dengan kekayaan alam yang melimpah ruah, tetapi segala sesuatunya masih bergantung pada negara lain, kurang maju.

Sesungguhnya, penentu keberhasilan suatu bangsa bukan pada sumber daya alam, tetapi pada kualitas sumber daya manusianya. Ketika sumber daya manusia berkualitas, ia akan memikirkan bagaimana memajukan bangsa yang bersangkutan dengan berbagai alternatif. Sedangkan ketika hanya kaya pada sumber daya alam dengan minimnya kualitas sumber daya manusia, bangsa tersebut tidak produktif.
"Pikirkan kualitas manusia, inilah jawaban untuk menang!" Inilah perkataan Bapak Anies Baswedan tadi.

Negara yang maju tidak mengeruk Sumber Daya Alam, melainkan negara yang mempunyai sumber daya manusia yang berkualitas. Manusia merupakan aset terbesar suatu negara. Kualitas manusia tersebut diperoleh melalui pendidikan. Tetapi, pendidikan bukan merupakan hal yang paling penting (Di Indonesia).

Taukah Anda jumlah sekolah di Indonesia?
Saat ini, ada sekitar 170.000 SD di seluruh Indonesia. Dan sekitar 945 anak Indonesia menikmati bangku SD. Angka ini bisa dibilang baik, terkait sedikit dengan Negara Jepang dengan 98%.
Indonesia sebenarnya sudah cukup baik dibanding dengan yang lalu, maindset kita sebagai warga negara saja yang selalu beranggapan bahwa Indonesia hanyalah "kejelekan" semata. Baik disini, maksudnya adanya peningkatan dari jumlah warga yang buta huruf, dari awal kemerdekaan sekitar 95% dan sekarang hanya 8%

Bangku SMP. Jumlah sekolah di Indonesia tingkat SMP ada sekitar 39.000 sekolah dan pada jenjang SMA ada sekitar 27.000 sekolah.

Setiap tahunnya, sekitar 5.600.000 orang masuk SD. Sedangkan yang lulus SMA sekitar 2.300.000. Berarti, sekitar 3.300.000 hilang? Lantas siapa yang akan memikirkan, jika bukan generasi penerus? Dan setiap tahun, hanya sekitar 1,1 juta - 1,3 juta yang lulus dari Perguruan Tinggi.

Pendidikan bertujuan untuk mencapai Indonesia yang lebih baik. Mengapa melalui pendidikan? Karena Indonesia di masa mendatang akan dipimpin oleh wajah dari generasi saat ini.
Pendidikan harus menjadi strategi utama atau menjadi gerakan dalam pembangunan Indonesia yang lebih baik.

PROGRAMATIC VS MOVEMENT
Antara programatic dan movement mempunyai kesamaan, yaitu merupakan suatu pendekatan untuk menyelesaikan masalah dengan menyiapkan segala sesuatunya agar masalah dapat benar-benar diselesaikan.
Bedanya, pendekatan programatic mempunyai pandangan bahwa pihak yang mempunyai masalah yakni pihak yang membuat program. Sedangkan dalam pendekatan movement, menganggap bahwa masalah adalah milik bersama, sehingga harus diselesaikan bersama, tidak hanya oleh satu pihak saja. Oleh karena itu, dalam pendekatan movement akan muncul berbagai inovasi untuk penyelesaian. Contoh : masalah pendidikan di Indonesia sebenarnya bukan hanya masalah pemerintah saja, melainkan masalah milik seluruh warga Indonesia.

Dalam movement, semua akan merasa mempunyai tanggung jawab. Dalam merebut kemerdekaan dahulu, jika hanya beberapa pihak yang merasa butuh, maka kemerdekaan tidak akan di dapat. Oleh karena itu pula, pendidikan harus dipandang sebagai movement, bukan tanggung jawab pemerintah saja.
Contoh, melalui program Indonesia Mengajar yang dipelopori oleh Bapak Anies Baswedan, yang merekrut mahasiswa lulusan universitas untuk menjadi pengajar untuk memajukan Indonesia ke arah yang lebih baik. Pengajar yang sudah direkrut akan ditempatkan di tempat tertentu untuk mengajar selama satu tahun.
Selain Indonesia, di Solo pun sudah ada, bernama Solo Mengaar, bahkan di daerah lain.



[[ Bahwa tentang mengajar bukanlah suatu pengorbanan, melainkan suatu kehormatan yg tdk dimiliki semua orang utk membayar janji bangsa "mencerdaskan kehidupan bangsa". ]]
[[ Di setiap tweet yg Anda tulis terdapat pahala guru Anda. Karena guru Anda yg telah mengajari Anda menulis ]]

~ Dan hari ini sangat luar biasa, banyak motivasi dan pencerahan. Banyak sekali harapan yang muncul usai kuliah hari ini. Semoga harapan-harapan tersebut dapat tercapai, demi bangsa yang lebih baik melaului usaha-usaha, tekad, kerja keras, optimis, dan tak lupa berdoa. Aamiin.
~ Terima Kasih Motivasinya Bapak Anies Baswedan. :))

Penggolongan Kekuatan Politik

Golongan yang bermain di dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan pada militer dan non-militer, partai dan bukan partai. Akan tetapi, kekuatan politik dikategorikan ke dalam golongan ‘radikal’, ‘konservatif’, dan ‘moderat’.

Golongan Radikal menghendaki supaya jangan diberikan kesempatan kepada mereka yang berkolaborasi dengan rezim Orde Lama. Dalam menegakkan suatu kestabilan, hendaklah dilakukan oleh mereka yang bersih dari pengaruh Orde Lama. Pemuka dalam golongan radikal ini datang dari kalangan yang lebih condong untuk berpaling ke Barat dalam mengambil contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia.

Golongan Konservatif lebih diwarnai oleh politik sipil juga menghendaki pembersihan terhadap sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan yang besar dalam politik Indonesia. Golongan ini menghendaki pembangunan yang benar-benar didasarkan kepada kekuatan modal dari dalam negeri. Golongan Konservatif melihat bahwa pengaturan masyarakat lebih baik menggunakan unsur yang terdapat di dalam masyarakat sendiri, serta pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat.

Sementara itu, Golongan Moderat lebih memilih suatu pengambilan keputusan melalui tradisi yang khas Indonesia. Sehingga pada waktu itu, secara tahap demi tahap Jenderal Soeharto memperkecil peranan politik Soekarno, yang kemudian dengan keputusan politik MPRS Maret 1967, peranan Soekarno berakhir. Begitu pula mengenai sistem kepartaian.

Kompromi kemudian menjadi dasar kehidupan kepartaian, yaitu disamping wakil partai politik duduk pula wakil golongan fungsional dan ABRI dalam lembaga perwakilan. Jenderal Soeharto menolak sistem dua partai seperti yang diusulkan oleh golongan radikal. Tetapi, dia juga tidak melihat kemungkinan yang baik dengan sistem banyak partai seperti yang dipertahankan oleh golongan konservatif. Lalu, kompromi yang diterima ialah pola empat fraksi : Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Pembangunan, Golongan Karya, dan ABRI di dalam DPR dan MPR. Dan terlebih dahulu meletakkan dasar pembangunan lima tahun pertama, sehingga dalam pembangunan lima tahun kedua apa yang menjadi keberatan golongan konservatif terhadap ide-ide golongan radikal diperhatikan dengan memberikan fasilitas yang lebih banyak kepada usahawan pribumi serta memperbesar anggaran pembangunan sektor sosial.


Sumber :
Sistem Politik Indonesia "Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan"
Karya : Drs. Arbi Sanit

Label: ,

Peta Kekuatan Politik

Sebagai kekuatan politik untuk merealisir Demokrasi Pancasila, ABRI harus memenuhi persyaratan pokok, yakni penerimaan dan kepercayaan masyarakat.

Masalah utama yang berkenaan dengan penerimaan masyarakat ialah bagaimana prosedur pengakuan itu berlangsung di dalam proses kehidupan politik. Sebab, sangat ganjil jika ABRI sebagai bagian dari eksekutif bersaing dengan partai politik yang swasta; di dalam suatu pemilihan umum sebagai sarana legitimasi kekuasaan politik.

Semenjak lumpuhnya politik Demokrasi Terpimpin, pandangan masyarakat mengenai partai menjadi kurang baik. Disamping peranan partai yang sudah merosot, muncul suatu anggapan bahwa partai adalah penyebab ketidakstabilan politik.

Suasana ini menimbulkan problema bagi ABRI. Pertama, bagaimana caranya untuk memperoleh legitimasi melalui pemilihan umum. Kedua, bagaimana bentuk organisasi yang akan mendukung ABRI. Dengan pertimbangan diatas didampingi oleh maksud untuk membangun, maka ABRI melihat bahwa lebih mungkin untuk bekerjasama dengan birokrasi. Keterikatan birokrasi terhadap struktur masyarakat tidak seerat antara ikatan partai politik dengan sifat dan struktur masyarakat. Lalu dengan melihat bahwa masyarakat terbentuk atas berbagi kelompok kepentingan, dibentuklah Golongan Karya.

Dengan demikian, berbagai kepentingan yang hidup dan tumbuh di dalam masyarakat Indonesia, disalurkan dan diwakili melalui suatu lembaga yang terorganisir dari pusat sistem politik, yaitu Golongan Karya.


Sumber :
Sistem Politik Indonesia "Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan"
Karya : Drs. Arbi Sanit

Label: ,

Kestabilan Politik

Ketidakstabilan politik di Indonesia dapat dilihat dari kesempatan yang tersedia bagi setiap pemerintah atau kabinet untuk menyelesaikan persoalan yang dihadapinya. Banyaknya demonstrasi, huru-hara, dan kekerasan politik menjadi bukti betapa rapuhnya kestabilan politik.

Ketidakstabilan politik disebabkan oleh belum melembaganya struktur dan prosedur politik yang mampu memberi tempat kepada masyarakat luas untuk mengambil bagian dalam sistem politik. Orang akan cepat setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa ketidakstabilan politik yang dialami oleh bangsa Indonesia memperkecil keleluasaan bagi negara ini untuk mengadakan perbaikan ekonomi, sosial, dan politik. Yang perlu dipersoalkan adalah stabilitas politik yang bagaimana yang akan diterapkan di Indonesia.

Stabilitas politik ditentukan oleh 3 variabel, diantaranya perkembangan ekonomi yang memadai, perkembangan pelembagaan (struktur dan proses politik), serta partisipasi politik. Dalam situasi “perkembangan ekonomi yang tidak diimbangi oleh perluasan partisipasi masyarakat, sukar diharapkan terpeliharanya kestabilan politik.

Di dalam pergantian sistem Demokrasi Konstitusional ke Demokrasi Terpimpin, sangat menonjol bahwa unsur pelembagaan prosedur politik sangat lemah. Belum melembaganya oposisi yang loyal, sistem berkompromi, dan bebasnya birokrasi dari pengaruh politik bersama-sama merupakan bahan untuk menuduh bahwa Demokrasi Konstitusional itu salah, yang kemudian diganti dengan Demokrasi Terpimpin.


Stabilitas politik perlu dibina, bukan hanya untuk menghindarkan sistem politik dari  pergantian pemerintah yang tidak wajar menurut konstitusi atau konsensus nasional, bukan juga untuk menjauhkan sistem politik dari revolusi dan kekerasan politik, melainkan untuk mendorong aspek positif dari stabilitas politik itu sendiri. Artinya, disamping mampu mampu melandasi perkembangan ekonomi, sistem politik hendaknya mampu membuka diri terhadap perubahan-perubahan yang tumbuh sejalan dengan pertumbuhan ekonomi.


Sumber :
Sistem Politik Indonesia "Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan"
Karya : Drs. Arbi Sanit

Label: ,

Penggolongan Kekuatan Politik

              Golongan yang bermain di dalam mencari penyelesaian persoalan-persoalan yang dihadapi oleh sistem politik tidak lagi didasarkan pada militer dan non-militer, partai dan bukan partai. Akan tetapi, kekuatan politik dikategorikan ke dalam golongan ‘radikal’, ‘konservatif’, dan ‘moderat’.
              Golongan Radikal menghendaki supaya jangan diberikan kesempatan kepada mereka yang berkolaborasi dengan rezim Orde Lama. Dalam menegakkan suatu kestabilan, hendaklah dilakukan oleh mereka yang bersih dari pengaruh Orde Lama. Pemuka dalam golongan radikal ini datang dari kalangan yang lebih condong untuk berpaling ke Barat dalam mengambil contoh untuk mengatur kehidupan politik dan ekonomi di Indonesia.
              Golongan Konservatif lebih diwarnai oleh politik sipil juga menghendaki pembersihan terhadap sisa-sisa rezim Orde Lama, namun menghendaki peranan yang besar dalam politik Indonesia. Golongan ini menghendaki pembangunan yang benar-benar didasarkan kepada kekuatan modal dari dalam negeri. Golongan Konservatif melihat bahwa pengaturan masyarakat lebih baik menggunakan unsur yang terdapat di dalam masyarakat sendiri, serta pengambilan keputusan melalui musyawarah dan mufakat.
              Sementara itu, Golongan Moderat lebih memilih suatu pengambilan keputusan melalui tradisi yang khas Indonesia. Sehingga pada waktu itu, secara tahap demi tahap Jenderal Soeharto memperkecil peranan politik Soekarno, yang kemudian dengan keputusan politik MPRS Maret 1967, peranan Soekarno berakhir. Begitu pula mengenai sistem kepartaian.
              Kompromi kemudian menjadi dasar kehidupan kepartaian, yaitu disamping wakil partai politik duduk pula wakil golongan fungsional dan ABRI dalam lembaga perwakilan. Jenderal Soeharto menolak sistem dua partai seperti yang diusulkan oleh golongan radikal. Tetapi, dia juga tidak melihat kemungkinan yang baik dengan sistem banyak partai seperti yang dipertahankan oleh golongan konservatif. Lalu, kompromi yang diterima ialah pola empat fraksi : Partai Persatuan Pembangunan, Partai Demokrasi Pembangunan, Golongan Karya, dan ABRI di dalam DPR dan MPR. Dan terlebih dahulu meletakkan dasar pembangunan lima tahun pertama, sehingga dalam pembangunan lima tahun kedua apa yang menjadi keberatan golongan konservatif terhadap ide-ide golongan radikal diperhatikan dengan memberikan fasilitas yang lebih banyak kepada usahawan pribumi serta memperbesar anggaran pembangunan sektor sosial.

Sumber :
Sistem Politik Indonesia "Kestabilan, Peta Kekuatan Politik, dan Pembangunan" Karya Drs. Arbi Sanit

Label: ,

~ About Hope ~

Selamat Sore (pukul 16.13 WIB ini, hehehe)
Kali ini postingannya santai saja yaa :)

Kemarin, 8 Juni 2013 ~~ genap berusia 19 tahun. Memang bukan sweet seventeen lagi sih, tapi 'sweet' tidak mesti harus 17 tahun kok menurutku :) Saya bersyukur sekali masih bisa menghirup udara sampai usia yang sekarang.

Entah ada angin apa, Saya menjadi tertarik untuk mengambil tema ulang tahun kemarin ke dalam suatu 'tulisan' yang mungkin ini dapat menjadi kenang-kenangan suatu saat nanti.

Umur 19 tahun, berarti umur terakhir dalam kepala 'satu'. Tahun depan sudah menginjak 'kepala dua'. Dan berarti hal-hal yang ada di pikiran sudah tentu berbeda. Bukan mengenai kekanak-kanakan lagi, melainkan sudah harus berpikir jernih ke depan. Bukan tentang bersenang-senang belaka, tetapi memahami sebuah realita.

Berharap semakin bertambahnya umur, semakin beriman kepadaNya, bisa sesegera mungkin membahagiakan dan membanggakan orang tua, semakin bertambah dewasa..
Tidak lupa pula berharap untuk kelancaran pendidikan yang sedang Saya tempuh di salah satu PTN saat ini. Semoga lancar dan bisa lulus pada waktu yang tepat dan direncanakan.
Berharap ke depannya akan lebih baik..
~ Aamiin ~


Terima Kasih kepada teman-teman dan kerabat atas doa dan harapan yang diberikan kepada Saya kemarin. Saya bahagia memiliki teman dan kerabat yang mempunyai kepedulian seperti kalian.

SELAMAT ULANG TAHUN, Endras (*^^*)

Label: ,

Historical Overview of Public Administration

Large scale administrative organization has existed from early times. The ancient empire of Egypt, Persia, Greece, Rome, China, and later the Holy Roman Empire as well as recent colonial empires of Britain, Spain, Russia, Portugal, and France -- they all organized and maintaned political rule over wide areas and large populations by use of quite a sophisticated administrative appatatus and more or less skilled administrative functionaries.

The personal natures of that rule was very great. Everything depended on the emperor. The emperor turn had to rely on the personal loyalty of his subordinates, who maintaned themselves by the personal underlings, down to rank and file personnel on the fringes of the empire. The emperor carried an enormous work load reading and listening for petitions, policy arguments, judicial claims, appeals for favor, and the like in an attempt to keep the vast imperial machine functioning. It was a system of favoritism and patronage.

In a system based on personal preferement, a change of emperor disrupted the entire arrangement of government. Those who had been in favor might now be out of favor. Weak rules followed strong rules, foolish monarchs succeded wise monarchs -- but all were dependent on the army, which supplied the continuity that enabled the empire to endure so long. In absence of institutional, bureaucratic procedures, government moved from stability to near anarchy and back again.

Modern administrative system based on objective norms (such as laws, rules, and regulations) rather than on favoritism. It is a system of offices rather than officers. Loyalty is owed first of all to the state and the administrative organization. Members of the burreaucracy, or large, formal, complex organizations in the recent times, ar choosen for their qualification rather than for their personal connections with powerful person. When vacancies occur by death, resignation, or for other reasons, new qualified person are selected according to clearly defined rules. Burreaucracy does not die when its members die.

Label: ,

  • Web
  • Blog Anda
  • Visitors

    About Me

    Endraswari Eskamurti
    A public administration student of Sebelas Maret University
    Lihat profil lengkapku

    Blog Search

    Entri Populer

    Followers

    ...cursor

    Diberdayakan oleh Blogger.